TANJABBAR – Proyek revitalisasi SMA Negeri 10 Tanjab Barat senilai Rp 2,6 miliar dari APBN 2025, yang seharusnya menjadi angin segar bagi dunia pendidikan, justru berpotensi menjadi skandal. Dugaan penggunaan material bangunan kelas bawah dan penunjukan panitia pembangunan yang tidak transparan memicu kecurigaan masyarakat.
Dana APBN yang dialokasikan untuk rehab ruang administrasi, ruang ibadah, perpustakaan, enam ruang kelas, ruang OSIS, ruang BK, ruang UKS, WC, sanitasi, serta pembangunan ruang komputer dan toilet, diduga tidak dikelola sesuai dengan prinsip swakelola yang mengutamakan partisipasi masyarakat dan transparansi.
“Program ini seharusnya bermanfaat bagi sekolah dan perekonomian warga sekitar jika dijalankan sesuai aturan,” ujar M, seorang wali murid, dengan nada kecewa.
Namun, fakta di lapangan berkata lain. Pihak sekolah terkesan mengabaikan aturan, terutama dalam pembentukan panitia pembangunan yang diduga tidak melalui musyawarah dengan komite sekolah. Lebih ironis lagi, panitia yang ditunjuk bukan berasal dari Desa Bukit Harapan, lokasi sekolah berada, dan tidak memiliki kompetensi teknis di bidang konstruksi.
“Selaku warga Bukit Harapan, saya sangat kecewa dengan keputusan kepala sekolah yang menunjuk panitia dari desa lain. Ini menimbulkan kecurigaan adanya itikad tidak baik dalam pengelolaan program ini,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan penyelewengan semakin kuat dengan temuan material bangunan yang tidak sesuai spesifikasi. Warga menyoroti perbedaan desain bangunan yang mencolok, seperti penggunaan kasau atap dari kayu bekas yang dicampur dengan kerangka baja. Kualitas kerangka baja pun diragukan, dengan jarak pemasangan yang tidak merata dan kedudukan yang terkesan “menempel” tanpa kekuatan struktural yang memadai.
“Jika warga dilibatkan sejak awal, kepala sekolah tidak akan bisa memonopoli kegiatan pembangunan ini,” tegas sumber tersebut.
Warga berharap Dinas Pendidikan Provinsi Jambi dan aparat penegak hukum (APH) segera turun tangan melakukan кросс-check terhadap perencanaan, pengelolaan, dan transaksi keuangan proyek revitalisasi ini. “Disdik dan APH jangan mandul! Jika ada pelanggaran, segera tindak!” serunya.
Kepala Sekolah SMAN 10 Tanjab Barat, Winarno, saat dikonfirmasi (8/10) membenarkan bahwa panitia pembangunan berdomisili di Desa Tanjung Benanak. Namun, ia enggan menunjukkan SK penunjukan panitia yang dimaksud. “Panitianya ada dan SK-nya ada,” kilahnya, tanpa bukti.
Terkait pengelolaan keuangan, Winarno menyatakan bahwa semua dipegang oleh bendahara. “Paling yang saya pegang sekitar 10-20 juta untuk bayar gaji tukang,” ujarnya.
Kasus ini menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan di Tanjung Jabung Barat. Masyarakat menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan, serta berharap pihak berwenang segera bertindak tegas jika terbukti ada penyimpangan. (Jangcik)







