Oleh: Bayu Parlindo Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Jambi
Produksi udang merupakan salah satu jenis produksi nonmigas utama di Indonesia. Jenis-jenis udang yang diproduksi di Indonesia adalah udang vaname (udang pisang, Penaeus merguiensis, Penaeus indicus), udang kepala panjang (udang Metapenaeus, Metapeneus spp) dan udang windu (udang macan raksasa, Penaeus monodon, Penaeus semisulcatus). Jenis udang lain yang diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah besar di Jepang adalah udang rebon dan udang pasir. Jenis udang yang diekspor ke Amerika Serikat adalah udang Banamme, yang dijual dalam bentuk udang beku. Mengekspor udang Indonesia ke AS tentu tidak mudah karena terkendala. Pada tahun 2012, terjadi sengketa antara Indonesia dan Amerika Serikat atas perdagangan udang Indonesia ke Amerika Serikat. Hal ini berupa tuduhan bahwa Indonesia memberikan subsidi untuk udang beku yang diekspor ke Amerika Serikat menjadi Amerika Serikat. Harga udang di Indonesia sekitar 25.000 rupiah per kilo, sedangkan udang di Amerika Serikat sekitar $8,40 merupakan produsen udang.
COGSI telah mengajukan petisi kepada Pemerintah AS, yaitu Komisi Perdagangan Internasional AS (US-ITC) dan Departemen Perdagangan AS (US-DOC), untuk meminta pengenaan bea balik (countervailing duty/CVD) atas impor berikut: didirikan di Udang air hangat beku (Frozen warm water shrimp species) pada tanggal 28 Desember 2012. Peraturan tentang subsidi diatur oleh WTO, sehingga penyelidikan pengenaan CVD pada produk ekspor bersubsidi dapat dilakukan di Negara Anggota WTO (World Trade Organizational) manapun. Agar tidak merusak industri dalam negeri. Biaya pengenaan CVD dimaksudkan untuk mengimbangi kerugian karena subsidi pemerintah dari pemerintah Indonesia. Jika terbukti bersubsidi, sanksinya berupa bea masuk.
Namun, pihak Indonesia telah membela semua tuduhan ini. Pasalnya, tudingan itu ditujukan kepada Indonesia. Pemerintah Indonesia telah berjuang untuk menghindari sanksi yang ditujukan kepada Indonesia. Potensi Indonesia untuk mendapatkan bagian yang lebih besar juga tercermin dari situasi pemasok makanan laut lokal di AS. Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) melaporkan bahwa 21,4% dari semua perikanan melebihi batas penangkapan ikan yang berlebihan. Oleh karenanya, beberapa pemerintah negara bagian AS telah memutuskan untuk memberi batasan serta larangan untuk menangkap ikan di beberapa lokasi penangkapan komersil. Hal ini menunjukan bahwa AS perlu mendapatkan bantuan untuk memasok komoditas laut dengan cara alternatif seperti farming atau dengan menaikan impor.
Penyelesaian sengketa perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat atas ekspor udang ke Amerika Serikat Konflik dapat muncul ketika suatu negara mengadopsi kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), atau kebijakan yang merugikan negara lain. Selain negara yang paling dirugikan, kebijakan ini memungkinkan negara ketiga yang berkepentingan dengan kasus tersebut untuk menyatakan keinginannya untuk menjadi pihak ketiga dan memperoleh hak-hak tertentu selama proses penyelesaian sengketa. Di WTO, penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab Dispute Settlement Body (DSB), titisan dari General Council (GC). DSB adalah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk membentuk panel ahli yang bertugas menyelidiki insiden.
DSB juga dapat menerima atau menolak keputusan panel atau keputusan banding. DSB mengawasi pelaksanaan keputusan dan rekomendasi dan memiliki kekuasaan/kekuasaan untuk mengizinkan pembalasan jika suatu negara gagal mematuhi keputusannya. Meskipun banyak proses WTO menyerupai litigasi, negara-negara anggota yang bersengketa masih diharapkan untuk bernegosiasi dan menyelesaikan masalah mereka sendiri sebelum sebuah organisasi dibentuk. Oleh karena itu, langkah pertama adalah konsultasi antara pemerintah terkait sebelum masalah mencapai tahap penyelesaian WTO.
Dalam hal sengketa antara Indonesia dan Amerika Serikat, penyelesaian antara kedua negara bersifat bilateral dan perkara tersebut belum sampai pada tahap penyelesaian oleh Badan Penyelesaian Sengketa WTO. Sengketa subsidi udang masih bisa diselesaikan secara bilateral. Di bawah aturan subsidi WTO, setiap negara, termasuk Indonesia, berhak mengklaim apakah itu subsidi, dumping, atau tindakan perlindungan terhadap negara dan perusahaan pengekspor. Namun, Pasal XXII Perjanjian GATT mengharuskan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsultasi bilateral. Mereka harus “melihat baik” pada perselisihan tentang semua hal yang terkait dengan penerapan GATT.
Dari semua tuduhan yang diajukan terhadap pemerintah Indonesia melalui investigasi yang dilakukan dan upaya diplomasi perdagangan, Indonesia akhirnya berhasil membuktikan bahwa tidak ada tuduhan subsidi pada produk udangnya. Pada 13 Agustus 2013, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (US-DOC) merilis vonis final udang CVD untuk tujuh negara (Cina, India, Malaysia, Vietnam, Thailand, Ekuador, dan Indonesia). Keputusan akhir yang dikeluarkan oleh DOC AS memutuskan konsekuensi negatif dari countervailing duty pada impor udang dari Indonesia. Dalam hal ini, aturan subsidi final kurang dari 2%, atau batas PT.Central Pertiwi Bahari dan PT. First Marine Seafoods, masing masing sebesar 0,23% dan0,27%.14 Seperti yang sudah diketahui Indonesia adalah Negara yang masuk kedalam Negara berkembang, di dalam WTO Pasal 27.10 SCM Agreement menjelaskan investigasi terhadap negara berkembang yang terkena tuduhan subsidi harus dihentikan apabila level keseluruhan dari subsidi tidak melampaui 2%. (*)